Bismillah...
Ahad, 30 September 2012
Sejarah Singkat Imam Malik
(Cerdas,Sabar,Tegas dan Berkarakter)
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani
Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti ceramah al
muwatta’ (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah
mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada
Khalifah Harun, ”Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi pelajaran hadits.
Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya,
tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara
ilmu tidak akan mencari manusia.”
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas
bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin
Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun 796 M.
Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik sebelum
maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman, namun
setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu
Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H.
Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama hadits terpandang
di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah
untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang
berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam Malik rela
mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus menjual
tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya, tak layak
seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil mengatasi
kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun
menekuni pelajaran hadits kepada ayah dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia
pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu
Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan
Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in
ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi
Rayi.
Dalam usia muda, Imam Malik telah menguasai banyak ilmu.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam
dunia pendidikan. Tidak kurang empat khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi,
Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi
ilmuwan dan para ahli lainnya. Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal
Imam Malik mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan
rasa hormat murid kepada gurunya. Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga
tak segan-segan ia menegur keras murid-muridnya yang melanggar prinsip
tersebut. Pernah suatu kali Khalifah Mansur membahas sebuah hadits dengan nada
agak keras. Sang imam marah dan berkata, ”Jangan melengking bila sedang
membahas hadits Nabi.”
Ketegasan sikap Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali,
manakala dihadapkan pada keinginan penguasa yang tak sejalan dengan aqidah
Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa takut risiko yang dihadapinya. Salah
satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah. Suatu ketika, gubernur yang masih
keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur, meminta seluruh penduduk Madinah
melakukan bai’at (janji setia) kepada khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu
baru berusia 25 tahun merasa tak mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at
kepada khalifah yang mereka tak sukai.
Ia pun mengingatkan gubernur tentang tak berlakunya bai’at
tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya perceraian paksa. Ja’far meminta Imam
Malik tak menyebarluaskan pandangannya tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur
Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun memerintahkan pengawalnya menghukum dera
Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam kondisi berlumuran darah, sang imam diarak
keliling Madinah dengan untanya. Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan
orang banyak, ulama yang mereka hormati tak dapat menghalangi kehendak sang
penguasa.
Namun, ternyata Khalifah Mansur tidak berkenan dengan
kelakuan keponakannya itu. Mendengar kabar penyiksaan itu, khalifah segera
mengirim utusan untuk menghukum keponakannya dan memerintahkan untuk meminta
maaf kepada sang imam. Untuk menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik
bermukim di ibukota Baghdad dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah
mengirimkan uang 3.000 dinar untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun,
undangan itu pun ditolaknya. Imam Malik lebih suka tidak meninggalkan kota
Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak pernah pergi keluar Madinah kecuali
untuk berhaji.
Pengendalian diri dan kesabaran Imam Malik membuat ia
ternama di seantero dunia Islam. Pernah semua orang panik lari ketika
segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam
Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak beranjak dari tempatnya. Mencium
tangan khalifah apabila menghadap di baliurang sudah menjadi adat kebiasaan,
namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada penghinaan seperti itu. Sebaliknya,
ia sangat hormat pada para cendekiawan, sehingga pernah ia menawarkan tempat
duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah yang mengunjunginya.
Dari Al Muwatta’ Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan
hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak kenal kitab yang satu ini. Ia
menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan pesantren dan ulama kontemporer.
Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki banyak keistimewaan. Ia disusun
berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari
hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan
lahir bila Imam Malik tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk
ke Baghdad, Khalifah Al Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan
membukukannya. Awalnya, Imam Malik enggan melakukan itu. Namun, karena
dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut, akhirnya lahirlah Al
Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa Al
Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang
tak ada duanya. Menurut Syah Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits
paling shahih dan terpilih. Imam Malik memang menekankan betul terujinya para
perawi. Semula, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang,
Imam Malik hanya memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke
dalam beberapa bahasa dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam
Malik juga menyusun kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan
jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga
mewariskan mazhab fikih di kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab
Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al
Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu
Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin
Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya
Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh
Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.
Di samping sangat konsisten memegang teguh hadits, mazhab
ini juga dikenal amat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum.
Secara berurutan, sumber hukum yang dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah
Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah
(amal ahli al Madinah), qiyas (analogi), dan al maslahah al mursalah
(kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah,
Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan.
Kecuali di tiga negara yang disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki
kini menyusut. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab
Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak.
Hanya Marokko saat ini satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab
Maliki.
Untuk sahabat cahaya marilah kita berusaha menjadi lebih baik setelah membaca biografi hidup Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku dan Madzhab fiqih tapi juga tauladan yang tidak ada habisnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar